Janger adalah salah satu kesenian kuno masyarakat Banyuwangi yang sudah ada sejak tahun 1930an
Kesenian ini sangat di minati masyarakat kuno Kabupaten Banyuwangi karena di tampilkan dalam bentuk Drama dengan setting nuansa Bali
Perpaduan antara seni drama, gerak dan tari di padu musik tradisional yang terdiri perangkat gamelan, gong dsb membuat kesenian Janger menjadi pilihan utama sebagai hiburan rakyat semalam suntuk saat masyrakat Banyuwamgi punya Hajat.Dan lakon yang populer dan sering di tampilkan dalam Janger adalah lakon Menakjinggo Damarwulan
Lakon Menakjinggo – Damarwulan adalah kisah Legenda yang mengambil background jaman Majapahit.
Di kisahkan Raja Majapahit Ratu Kencowungu mendapat ancaman dari raja Blambangan yang bernama Kebo Mercuet yang ingin menguasai Majapahit.Namun ancaman berhasil di tumpas oleh Joko Umbaran dari Pasuruan yang setelah menumpas Kebo Mercuet menjadi Raja Blambangan bergelar Prabu Menakjinggo
Keadaan berubah setelah Prabu Menakjinggo menjadi raja dan beristri dua yakni Waito dan Puyengan mempunyai hasrat mengawini Ratu Kenconowungu agar dia bisa menjadi Raja Majapahit
Ratu Kenconowungu yang khawatir akan ancaman itu mengadakan sayembara siapa yang bisa mengalahkan Prabu Menakjinggo bila laki laki akan di angkat jadi suaminya, bila perempuan akan diangkat menjadi saudaranya.
Sayembara itu di sanggupi oleh Damarwulan pencari rumput Istana putra mantan Patih Majapahit yang bernama Udara yang kemudian di gantikan oleh adiknya yang terkenal dengan nama Patih Logender
Semula Damarwulan kalah menghadapi kesaktian Prabu Menakjinggo. Namun karena di bantu Waito & Puyengan yang berkhianat pada suaminya maka Dawarwulan berhasil mengambil senjata sakti Gada Wesi Kuning dan mengalahkan Prabu Menakjinggo.
Prabu Menakjinggo kalah, kepalanya di penggal. Meski kemenamgan itu sempat di rebut dan di klaim Layang Seto Gumiitir sepupunya – putra Patih Logender namun di akhir cerita Damarwulan sukses menjadi Raja Majapahit beristrikan Ratu Kenconowungu.
Bahkan istri Menakjinggo Waito dan Puyengan serta Anjasmara – putri Patih Logender yang mencintai Damarwulan juga menjadi isteri Raja Majapahit yang baru tersebut.
Yang menarik dari kisah ini , di sebutkan Menakjinggo adalah Raja Sakti bawahan Majapahit yang memberontak namum di kalahkan oleh Damarwulan dari Majapahit.
Tidak hanya di kalahkan saja dengan kepalanya di penggal namun kedua istrinya dan senjata saktinya gada wesi kuning juga ikut di sita oleh Damarwulan.
Cerita pedih yang kalah dan di lucuti ini justru populer di Kabupaten Banyuwangi yang dulu bernama Blambangan.
Di daerah bekas Majapahit (Mojokerto dan sekitarnya) cerita ini justru tidak populer.
Cerita Janger kekalahan Prabu Menakjinggo ini mencapai puncak kejayaannya di tahun 80an dengan banyaknya tanggapan tanggapan Janger lakon Menakjinggo – Damarwulan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten – kabupaten di sekitarnya.
Ditahun 90an Patung patung dan relief Menakjinggo dan punakawannya yang bernama Dayun banyak di buat untuk menghiasi kota.
Menurut Wong Agung Jayadiningrat , Pegiat Sejarah dan Budaya Blambangan
Cerita Janger Menakjinggo.- Damarwulan adalah kisah Fiktif.
Data tertua dari kisah ini di ambil dari Serat Damarwulan yang di tulis dalam huruf Pegon sekitar tahun 1800an.
Cerita dalam Serat Damarwulan ini kemudian di visualisasikan dalam seni Langendriyan Mangkunegaran yang menjadi tontontan favorit Raja raja Mangkunegaran waktu itu
Keseninan Langendriyan adalah cipataan R.T.Purwadiningrat yang di kembangkan oleh KGPA Mangkubumi di lingkungan keraton Jogja
Lalu KGPAA Mangkunegaran IV memerintahkan menantunya Raden Hario Tandakusumo untuk mengubah Langendriyan Jogja ke dalam gaya Surakarta
Kemudian atas prakarsa Godlieb Kilian bos pabrik Batik Pasar Pon Solo , Raden Tandakusumo melahirkan karya Langendriyan baru bernama Langendriyan Mandraswara dengan lakon Menakjinggo Lena yang menceritakan kisah Menakjinggo yang gagal melamar Ratu Kenconowungu
Langendriyan Mandraswara ini kemudian di kembangkan oleh Mangkunegaran IV
Dan pada saat masa pemerintahan Mangkuegaran V penokohannya di tambahkan Dayun sebagai Punakawan Menakjinggo
Kesenian Langendriyan ini terus berkembang pada era Mangkunegaran VII yang menambahkan peran dalam 7 orang (Langendriyan 7) dengan memunculkan di antaranya Waito dan Puyengan
Hingga pada tahun 1930an Langendriyan Menakjinggo yang sudah terdiri dari berbagai kisah (lakon) menjadi lengkap seperti sekarang dan di tampilkan tidak hanya di dalam komplek Mangkunegaran tapi juga di luar keraton
Lalu bagaimana kisah Menakjinggo – Damarwulan ini bisa sampai ke Banyuwangi ?
Menurut Wong Agung Mukti Jayadiningrat kisah Menakjinggo Damarwulan ini perkirakan masuk ke Banyuwangi di bawa oleh Arya Suganda, putra Mangkunegaran IV yang menjadi Bupati Banyuwangi pada tanggal 31 Januari 1881 – 1887.
Lalu Kesenian Langendriyan menjadi bentuk Janger pada masa Bupati Notodiningrat yang menjadi Bupati Banyuwangi 27 Desember 1912
dan di pentaskan dengan setting gaya Bali pada tahun 1930an oleh seniman Bali
Masih menurut Wong Agung Mukti Jayadiningrat Kisah Janger Menakjinggo – Damarwulan adalah cerita fiksi yang mengambil background era Majapahit namun mengambil tokoh beberapa jaman yang di jadikan satu frame.
Sehingga jika di telusuri dari sisi sejarah akan cukup membingungkan Dari segi penamaan Raja Majapahit Setri (perempuan) tidak ada yang bernama Kenconowungu.
Raja Majapahit perempuan yang terdata dalam sejarah adalah Ratu Tribuanatunggadewi (1329-1350) , Ratu Kusumawardhani (1389-1400) dan Ratu Suhita (1437 -1447) apabila 3 Ratu Majapahit ini di Kenconowungukan maka masa pemerintahan ini tidak sejaman dengan Kerajaan Blambangan yang secara de jure baru muncul tahun 1500an setelah Majapahit runtuh.
Sangat aneh bila kerajaan Blambangan memberontak kepada kerajaan yang sudah runtuh (musnah)
ataupun kalo sudah berbentuk kerajaan maka sangat tidak mungkin kerajaan Blambangan yang masih bayi melawan kebesaran Majapahit yang telah menguasai Nusantara
Soal nama Menakjinggopun tidak terdapat pada daftar nama nama Raja Blambangan
dalam silsilah yang di miliki keluarga ningrat Blambangan yang masih ada hingga sekarang
Nama Raja Blambangan bernama Menakjingga juga tidak ada dalam catatan Asing (Belanda) yang di riset oleh para ahli sejarah.
Nama Jingga baru muncul pada nama Prabu Danuningrat yang juga di sebut Arya Jingga/Pangeran Jingga Danuningrat yang menjadi Raja Blambangan pada tahun 1736 – 1763 selisih 3 abad setelah Majapahit runtuh
Ada pula yang memaksakan bahwa kisah Damarwulan – Menakjingga adalah kisah perang Paregreg, yaitu Perang Majapahit melawan Blambangan yang di pimpin Bhre Wirabumi
Perang Paregreg terjadi pada tahun 1404 – 1406 saat itu secara de Jure Blambangan belum lahir masih hutan Belantara
Perang itu adalah perang kedaton kulon Majapahit yang di pimpin Raja Wikramawardhana melawan kedaton wetan Majapahit yang di pimpin Aji Rajanatha/ Bhre Wirabhumi II yang telah menjadi Bhre Pamwatan namun berkantor di istana kakeknya di Kedaton Timur
Saat terjadi perang Paregreg Aji Rajanatha putra selir Prabu Hayam Wuruk sdh tidak menjadi Bhre Wirabhumi lagi tp sdh menjadi Bhre Panwatan.
Sedangkan Wirabumi di perintah oleh Raden Gajah Narapati /Bhre Wirabhumi 3
Wirabhumi bukan Blambangan karena Wirabhumi terletak di wilayah Pantura daerah Besuki dan sekitarnya. Jika di paksakan pula raja Blambangan tidak seharusnya bergelar Bhre Wirabhumi tapi bergelar Bhre Blambangan.
Namun Blambangan tidak terdaftar dalam data wilayah Majapahit baik sebagai Mandala, watak atau dukuh.
Di era Majapahit Blambangan masih terdaftar dengan sebutan Marlambangan yang di pimpin oleh para Rama (buyut) jadi semacam pedukuhan kecil yang tidak mungkin melawan kerajaan besar Majapahit
Dalam perkembangannya Tokoh Menakjinggo raja kalah yang sudah terlanjur menjadi Ikon Kota ini oleh para pegiat sejarah Blambangan pernah di komunikasikan kepada pemain Janger agar “tokoh ikon ” di jadikan tokoh baik yang menang dalam cerita yang kemudian dapat di contoh suritauladannya dan layak menjadi ikon kota karena kepahlawanannya.
Bukan malah raja buruk rupa yang kalah yang istri istrinya dan senjatanya di curi.
Namun komunikasi mengalami kebuntuan karena pemain Janger takut ngk laku karena menampilkan lakon yang menyimpang dari pakem janger
Begitu juga pihak Dinas Pariwisata juga pernah mencoba mengubah image Menakjinggo menjadi tokoh ganteng rupawan yang sakti dan mengalahkan Majapahit dalam event Banyuwangi festival.
Hal ini sempat viral dan mendapat protes dari kaum sepuh dan pecinta Janger karena tidak umum dan menyalahi pakem cerita Janger.
Namun meski melenceng dari data sejarah, cerita ini dan kesenian Janger telah melekat di Masyarakat Banyuwangi turun temurun.
Patutlah kita hormati sebagai kekayaaan warisan budaya Banyuwangi yang patut kita hormati dan kita lestarikan.
R/KRT SUJONO DIPURO & WONG AGUNG MUKTI JOYO DININGRAT.