Jakarta – Liputan Warta Jatim, Laskar Pelita Nusantara (LPN) menyoroti keras kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, yang baru-baru ini mengirim 10.000 ton beras ke Palestina. Langkah itu dinilai ironis dan menyakitkan hati seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat di Papua yang hingga kini masih bergulat dengan kemiskinan, kelaparan, dan keterbatasan akses pangan.
Ketua LPN, Fedirman Laia, S.Pd. yang juga mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STIP-AN, menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan ketimpangan moral dan sosial pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
“Kami bukan menolak bantuan kemanusiaan untuk Palestina, tetapi bagaimana mungkin pemerintah mengirim ribuan ton beras keluar negeri sementara rakyat sendiri, terutama di Papua, tidak mendapatkan keadilan yang sama dalam hal pangan?” tegas Fedirman di Jakarta, Sabtu 25/10/25.
Menurut Ketua LPN, pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional (NFA) seharusnya lebih memprioritaskan rakyat dalam negeri sebelum mengambil langkah-langkah bantuan internasional. Banyak daerah di seluruh Negeri ini, terutama di Papua yang masih menghadapi krisis pangan berkepanjangan, namun perhatian pemerintah dinilai sangat minim bahkan hampir dilupakan.
Fedirman menilai, tindakan itu memperlihatkan bahwa pemerintah gagal memahami esensi keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila.
“Keadilan sosial bukan hanya slogan. Papua bagian dari Indonesia, dan rakyat di sana memiliki hak yang sama atas pangan, pendidikan, dan kesejahteraan. Jangan sampai bangsa ini terlihat heroik di luar negeri tapi lalai terhadap rakyat sendiri,” ujarnya.
LPN menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal isu ketimpangan kebijakan pangan nasional, termasuk mendesak audit terhadap prioritas distribusi beras oleh pemerintah pusat dan Bulog. Ketua LPN juga meminta agar Menteri Pertanian dievaluasi oleh bapak Presiden Prabowo Subianto serta bertanggung jawab moral atas kebijakan yang dinilai tidak sensitif terhadap penderitaan masyarakat dalam negeri.
“Bantuan ke luar negeri seharusnya datang dari kelimpahan, bukan dari kekurangan. Ketika Papua masih lapar, ketika rakyat sendiri belum kenyang, maka kebijakan seperti ini bukanlah kebanggaan melainkan ironi nasional,” tutup Fedirman.
(Red)






