Ruteng, Manggarai – Liputan Warta Jatim, Koalisi Advokasi Poco Leok selaku pendamping hukum warga Poco Leok yang menolak rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu 5-6, resmi mengajukan surat keberatan administratif kepada Termohon, Bupati Kabupaten Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, S.E, M.A. Surat keberatan ini sebagai bentuk respon atas dugaan tindakan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) ketika Bupati Manggarai terlihat emosi dan melakukan intimidasi kepada warga yang sedang melakukan aksi demonstrasi. Warga Poco Leok, Agustinus Tuju (53 Tahun) menjadi Pihak Pemohon upaya hukum tersebut.

Langkah pengajuan surat keberatan tersebut merupakan hak hukum warga yang merasa dirugikan atas tindakan pejabat pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

“Surat tersebut agar Pak Bupati menyadari betul tugas dan kewajibannya sebagai Kepala Daerah yang dipilih warga, utamanya melindungi dan mensejahterakan seluruh warga di Kabupaten Manggarai, termasuk Poco Leok. Ini tidak boleh terjadi lagi,” ujar Jimmy Z. Ginting, S.H, salah satu kuasa hukum warga.

Sebagaimana telah marak di pemberitaan, pada 5 Juni 2025 lalu, warga Poco Leok yang menolak rencana proyek pengembangan PLTP Ulumbu 5-6, melakukan aksi damai ke Kantor Bupati Manggarai. Ditengah orasi warga, Bupati Manggarai terlihat memarahi warga dan memimpin sekelompok massa tandingan melakukan tindakan represif kepada warga Poco Leok.

Baca Juga :  Kajati Sulsel Kunjungan Ke Sinjai di Sambut Langsung oleh Wakil Bupati dan Kajari Sinjai.

Alhasil, 3 mobil yang berisi massa aksi terpaksa diamankan ke Kantor Polisi Resor Manggarai untuk menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi. Sebagaimana dapat di baca di media, alasan Bupati bertindak seperti itu karena merasa tersinggung atas orasi warga yang menyinggung dirinya.

“Warga, khususnya Klien kami, merasa trauma dan tidak menyangka Bupati dapat melakukan tindakan kekerasan dan ancaman. Pada hari kejadian, Beliau adalah Bupati, bukan atas nama pribadi,” lanjutnya.

Surat keberatan administratif merupakan sebuah langkah formil dan awal dari sebuah proses peradilan di ranah Tata Usaha Negara (PTUN). Para pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pejabat pemerintahan wajib mengirimkan surat keberatan kepada pejabat yang melakukan tindakan tersebut sebelum masuk ke ranah persidangan (sengketa) di pengadilan. Di dalam Hukum Tata Usaha Negara dikenal dengan peristilahan tindakan faktual (feitelijke handeling) pejabat pemerintahan.

“Apabila Bupati Manggarai tidak memberikan respon atau tidak menggubris surat kami, maka akan ada upaya lanjutan, yaitu banding administrasi kepada atasan Beliau yaitu Presiden c.q Menteri Dalam Negeri dan dapat ke pengadilan,” ungkap Yulianto B. Ngali Mara, S.H, Kuasa Hukum lainnya.

Hal lainnya diungkap oleh kuasa hukum warga lainnya, Judianto Simanjutak, S.H, dalam hal kepatuhan pejabat pemerintah yang tidak hanya tunduk pada aturan hukum administrasi negara, tetapi bidang hukum lainnya. Bupati Manggarai juga diduga melakukan tindakan yang diatur di dalam hukum pidana.

Baca Juga :  PKK se-Kecamatan Randuagung Antusias Meriahkan Karnaval Desa Buwek

“Kami melihat, apa yang dilakukan (kekerasan) oleh Bupati Manggarai sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai tindakan kejahatan dalam hukum pidana sesuai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun,” jelasnya.

Dengan adanya upaya pengajuan surat keberatan administrasi tersebut menjadi langkah edukasi bagi setiap Kepala Daerah dan atau Pejabat Pemerintahan agar berhati-hati dan bijaksana di dalam merespon setiap bentuk aksi protes warga yang sebenarnya telah diakomodir atau dijamin oleh peraturan perundang-undangan sebagai wujud kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.

“Merupakan hak setiap warga negara untuk berdemonstrasi, terlebih apabila sudah sesuai prosedur penyampaian pendapat di muka umum, mestinya ini menjadi pelajaran bagi setiap pemimpin daerah agar tidak melakukan kekerasan dan ancaman kepada warganya,” tutupnya.

Eni.S/Red

 

By ENI