Beranda Kriminal Begal Berkedok Debt Collector Kembali Menjamur di Gunung Putri, Apakah Penegak Hukum...

Begal Berkedok Debt Collector Kembali Menjamur di Gunung Putri, Apakah Penegak Hukum Kembali Tutup Mata?

496
0
Foto Diduga para pelaku begal berkedok debt kolektor di jalan cagak gunung putri

Bogor –  Liputan Warta Jatim Dugaan kuat aksi begal berkedok debt collector atau yang sering disebut “mata elang” kembali marak di wilayah Kabupaten Bogor, khususnya di wilayah bahukum Polsek Gunung Putri. ( Jl. Cagak Gunung putri ) Aksi para pelaku kerap kali meresahkan masyarakat, khususnya para pengguna kendaraan yang menjadi target utama. Minggu (06-10-2024)

Modus operandi yang digunakan adalah berpura-pura sebagai debt collector resmi untuk menarik kendaraan yang diduga bermasalah dengan angsuran. Namun, tak jarang tindakan yang dilakukan justru diwarnai intimidasi dan kekerasan fisik yang berujung pada perampasan kendaraan secara paksa. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang merasa khawatir akan keselamatan dan keamanan mereka di jalan.

Foto Diduga para pelaku begal berkedok debt kolektor di jalan cagak gunung putri

Yang amat menyedihkan kegiatan mereka ini dilakukan tidak jauh dari pos polisi sekitar radius 50 m2, dengan terang-terangan dan tanpa rasa takut sedikitpun ( terlihat dari ekspresi wajahnya ) seolah-olah terkesan berani mengangkangi aparat penegak hukum yang sedang bertugas di pos polisi tersebut.

Tindakan para pelaku ini dapat dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang di Indonesia, di antaranya:

1. Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, yang berbunyi: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu atau untuk memberikan hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Baca Juga :  Polres Pelabuhan Tanjung Perak Amankan Mantan Anggota DPRD Bangkalan Terbukti Kedapatan Sabu

2. Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan (begal), yang menyatakan bahwa siapa pun yang mengambil barang milik orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan diancam dengan hukuman penjara hingga 12 tahun.

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengatur proses penarikan kendaraan secara hukum. Dalam Pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa penarikan jaminan fidusia (kendaraan bermotor, misalnya) harus dilakukan dengan dasar kekuatan hukum, bukan dengan cara kekerasan atau intimidasi. Debt collector yang melakukan perampasan kendaraan tanpa prosedur hukum yang sah dapat diancam pidana.

Situasi ini ibarat ” bagai api dalam sekam,” di mana keresahan masyarakat terus membara meski tak terlihat di permukaan. Kabar yang berkembang menyebutkan bahwa sejumlah lapisan masyaraka, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat (Ormas) sedang melakukan konsolidasi untuk membantu pihak kepolisian dalam menertibkan aksi kriminal ini. Mereka merasa perlu turut andil untuk mengatasi masalah yang telah meresahkan ini, agar kondisi wilayah kembali aman dan tertib.

Perlu diingat, beberapa waktu yang lalu, wilayah hukum Polsek Gunung Putri sempat berpreatasi yang sangat luar biasa berdasar kepada melaksanakan instruksi pimpinan ( Kapolres Bogor ) untuk menindakntegas segala bentuk aksi premanisme di wilayah hukum Polres Bogor sehingga Kapolsek Gunung putri berhasil mensterilkan wilayah gunung putih dari aksi begal berkedok debt collector ini, berkat upaya tegas aparat dan dukungan masyarakat. Namun, dengan maraknya kembali kejadian serupa, muncul kekhawatiran bahwa aksi para pelaku ini akan semakin mengganas jika tidak segera ditangani secara serius oleh penegak hukum.

Baca Juga :  Satresnarkoba Polresta Manado Ungkap 6 Kasus Narkotika Sepanjang September 2024

Pertanyaan pun muncul, mengapa aksi ini seakan dibiarkan begitu saja? Apakah para pelaku memiliki “backing” dari pihak kuat sehingga mereka seolah kebal hukum? Masyarakat kini mempertanyakan peran dan kinerja aparat penegak hukum dalam menindak tegas para pelaku. Sebab, hingga saat ini, laporan-laporan masyarakat terkait tindakan premanisme tersebut seolah tak mendapatkan respon yang memadai.

Masyarakat berharap konsolidasi dengan pihak kepolisian dan Ormas ini dapat membuahkan hasil nyata untuk menumpas aksi-aksi kriminal ini sebelum semakin banyak korban yang berjatuhan. Keberadaan oknum-oknum yang memanfaatkan celah hukum untuk menjalankan tindakan kejahatan ini harus segera dihentikan.

Namun, pertanyaan terbesar yang mengemuka: Apakah penegak hukum benar-benar serius dalam menangani masalah ini, ataukah ada pihak kuat yang bermain di balik layar? Waktu yang akan menjawabnya.

Kontributor AS