Jawa Timur – Liputan Warta Jatim, Pmerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) kembali menunjukkan komitmennya terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan dengan mengungkapkan detail penggunaan Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP). Minggu (11 Agustus 2024)
Transparansi Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP), adalah bentuk atensi dan sumbangsih nyata Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur, untuk aktivitas dunia pendidikan teknis, operasionalnya tertuang dalam pergub 33 Tahun 2019.
Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Timur digunakan untuk kegiatan dan aktivitas dunia pendidikan yang tidak bisa dicover dari anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Pusat.
Pengaturan operasionalnya yang telah tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2019, yang menjadi dasar bagi alokasi dana untuk kegiatan pendidikan yang tidak dapat ditutup oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Namun, sejak tahun 2022, terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan anggaran BPOPP. Semula, Kepala Sekolah SMA/SMK/SLB, baik Negeri maupun Swasta, dapat langsung mengelola dana ini melalui Kantor Cabang Dinas Pendidikan (Kacabdin) dan Dinas Pendidikan (Dispendik) Provinsi Jawa Timur.
Perubahan ini menciptakan kekhawatiran terkait potensi penyimpangan dan praktik tidak transparan dalam penggunaan anggaran.
Isu ini menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Kantor Wilayah Jawa Timur di Graha Taman Chandra Wilwatikta Pandaan. Dalam forum tersebut, tema utama yang diangkat adalah “Mengkaji Kembali Anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) dan Peran Kepala Sekolah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.”
Menurut Heru Satriyo, ketua LSM MAKI Kantor Wilayah Jawa Timur mengacu pada Pergub 33 tahun 2019 dalam pasal 7 untuk anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) terlihat dengan jelas menjadi domain Kepala Sekolah (KS), yang memang sangat mengerti dan memahami retorika kegiatan dunia pendidikan di sekolah masing-masing dan kemudian kepala sekolah (KS) harus mengusulkan terlebih dahulu ke Kantor Cabang Dinas (kacabdin)
Heru Satriyo, Ketua LSM MAKI Jawa Timur, menyatakan keprihatinannya terhadap pergeseran pengelolaan anggaran yang berpotensi menimbulkan dugaan penyimpangan.
Menurutnya, perubahan ini dapat menyebabkan praktik pemotongan dana sebesar 10-12% oleh oknum di Kantor Cabang Dinas Pendidikan.
“Berdasarkan Pergub 33 Tahun 2019 Pasal 7, pengelolaan BPOPP seharusnya menjadi domain Kepala Sekolah yang lebih memahami kebutuhan dan prioritas di sekolahnya_.
Namun, pengelolaan yang melibatkan Kacabdin berisiko menimbulkan ketidakakuratan dan mark-up anggaran” ungkap Heru Satriyo.
Ia juga menambahkan bahwa Kepala Sekolah mampu memberikan laporan pertanggungjawaban yang komprehensif dan jelas, seperti yang terbukti dalam penggunaan dana BOS.
“Terbukti secara formal bahwa Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara), penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya sangat jauh lebih besar dari Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP), para Kepala Sekolah (KS) mampu menyuguhkan format laporan yang komprehensif dengan basis Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara), penggunaan anggaran yang jelas” papar Heru Satriyo.
Menurut Heru, kacabdin harusnya lebih fokus ke arah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan lewat struktural tim yang dibentuk sesuai Pergub 33 tahun 2019.
“Adanya kebijakan yang sangat jomplang antara tunjangan yang diterima KS dan pengawas sekolah dari Cabdin menjadi trigger utama apabila disangkutpautkan ketika pengelolaan dana BPOPP dilakukan Kacabdin.” pungkasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Kepala Sekolah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam mengelola dan melaporkan penggunaan anggaran dibandingkan dengan struktur pengelolaan yang melibatkan Kacabdin.
“Ini sangat tidak efektif dan juga basis pelaporan yang dibuat Kantor Cabang Dinas (kacabdin) lewat Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara) sekolah ke Kantor Cabang Dinas (kacabdin), rawan untuk dilakukan juga berpotensi Mark Up anggaran.,” katanya.
Ditegaskannya, efektivitas dan kuantitas untuk memaksimalkan anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) akan berjalan apabila Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya adalah Kepala Sekolah.
Selain itu, dana Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) juga dipangkas sebesar 10 – 12 % oleh oknum di lingkungan Kantor Cabang Dinas Pendidikan (Kacabdin) kota per kabupaten juga bisa terjadi.
Dari pengelolaan anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) inilah yang kembali marak dan menjadi hal penting dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD), yang diselenggarakan oleh LSM, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Kantor wilayah Jawa Timur, di Graha Taman Chandra Wilwatikta Pandaan beberapa waktu lalu.
Heru menekankan perlunya Kacabdin fokus pada fungsi pembinaan dan pengawasan sesuai dengan struktur yang diatur dalam Pergub 33 Tahun 2019, dan bukan sebagai pengelola utama anggaran BPOPP.
Ketidakseimbangan dalam tunjangan yang diterima antara Kepala Sekolah dan pengawas dari Kacabdin juga menjadi faktor utama yang menimbulkan ketidakpuasan dan potensi penyimpangan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur diharapkan dapat meninjau kembali kebijakan ini untuk memastikan bahwa transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga, sehingga dana pendidikan dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Penulis/Reporter : [ Eni ]