Surabaya, Liputan Warta Jatim – Problem permukiman dan status tanah masih menjadi momok antara Masyarakat Surabaya dengan Pemkot Surabaya. Hal ini Terjadi kuat dugaan masing masing saling mengklaim kepemilikan nya, hingga tercipta Polemik surat ijo yang menyangkut ratusan ribu warga Surabaya. Sejak puluhan tahun menempati tanah Surat Ijo, pemilik bangunan di 48.000 persil tanah, atau sekitar 800 hektare yang tersebar di 26 kecamatan di Surabaya, harus membayar retribusi atau sewa kepada Pemerintah Kota Surabaya. Padahal mereka juga membayar pajak bumi dan bangunan yang dipungut pemerintah pusat, dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tidak dikenal istilah sewa seperti yang tertera dalam Surat Ijo. Pemerintah Kota Surabaya belum juga mau melepas tanah yang sebenarnya bukan asetnya, hingga konflik ini dibawa sampai ke tingkat pemerintah pusat.
Hingga saat ini Pemkot Surabaya masih belum bisa menyelesaikan permasalah surat ijo, kepemilikan tanah surat ijo permukiman sebagaian warga kota diatas tanah negara.
Salah satu warga yang terimbas sengketa tanah ijo sebut saja Yoshua dan Purwomantono warga RT 02 RW 11 Ngagel Wasana, Sabtu 23/3/2024 memberikan keterangan pada awak media terkait permasalahan surat ijo, yang mana peralihan surat ijo menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) semestinya sertifikat surat ijo diubah menjadi SHM.
“Selama ini kami tidak paham tentang surat ijo, saya melihat permasalahan surat ijo ini Pemkot yang berawal dari retribusi 300ribu yang sama dengan PBB, hingga retribusi tersebut setiap tahun makin meningkat. Kami sempat protes tetapi tidak ada tanggapan. Berjalan waktu kami selalu bayar, hingga kenaikan melebihi kemampuan kami. Dari itulah kami sebagai perwakilan masyarakat yang tergabung dalam forum Analisis Surabaya (FASIS), tergerak untuk mengungkap permasalahan surat ijo yang jadi Polemik warga dan Pemkot Surabaya ” ungkap Yoshua sebagai anggota FASIS.
Sementara itu, kenyataan di lapangan Surat ijo di mana rakyat tinggal suatu tempat telah mendiami aset tanah bergenerasi-generasi dan tidak pernah mendapatkan statusnya, sehingga mereka mendapatkan kesulitan untuk menjual tanahnya dikarenakan status kepemilikan tanah padahal Warga dengan tertib retribusi dan ditambahkan kalau menjual IPT dikenakan BPHTB padahal bukan hak atas tanah ini tidak ada dasar hukumnya.
Purwomantono warga Surabaya yang mendapatkan surat ijo menyampaikan “pada tahun 1994 ada para warga diperintahkan untuk mengumpulkan surat tanah yang akan dibuatkan sertifikat oleh Walikota melalui pihak lurah, dan pada waktu itu warga masih mempunyai macam tanah dengan surat tanah yang masih ada stempel merah Garuda. Akan tetapi pada tahun 1997 kita bukan mendapatkan sertifikat seperti yang dijanjikan, malah mendapatkan surat tanda ijin pemakaian atau Surat Ijo. Padahal yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat tanah adalah BPN, dan kenapa tiba-tiba Pemkot mengeluarkan surat ijo, berarti itu adalah Pembohongan besar Pemkot kepada warga nya” ungkapnya.
Menurut Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Surabaya mendata ulang seluruh tanah aset di 31 kecamatan. Diperkirakan ada lebih dari 1.000 bidang tanah aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang saat ini masih digunakan atau dikelola pihak lain tanpa ikatan hukum kebanyakan berupa IPT (izin pemakaian tanah) atau surat ijo.
Lebih jauh, Pemerintah Kota Surabaya mengklaim tanah tersebut miliknya dan memanfaatkan ketidaktahuan warga dengan menarik retribusi atas tanah yang sebelumnya bukan merupakan aset mereka. (stna)