JAKARTA– Liputan Warta Jatim, Hanya beberapa provinsi yang telah menyesuaikan perda perkoperasian dengan UU Cipa Kerja, antara lain Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, selebihnya masih mendasarkan pada UU Perkoperasian Nomor 25/1992. Pembahasan RUU Sistem Perkoperasian Nasional, yang akan menggantikan UU 25/1992, sudah memasuki tahap akhir di DPR. Adapun peraturan turunan UU 25/1992, yakni PP 7/2021, essensinya sudah cukup kuat sebagai payung hukum bagi daerah untuk membentuk atau menyesuaikan perda.
Koperasi hendaknya menjadi gerakan sosial untuk membangun coersiveness dan sikap kebersamaan dalam transformasi budaya. Koperasi diharapkan menjadi pilar ekonomi Indonesia karena perannya sebagai “soko guru” perekonomian rakyat yang berlandaskan kekeluargaan dan gotong royong. Pendirian Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) yang berbasis domisili dan wilayah diharapkan mampu memberdayakan ekonomi rakyat, meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, serta memperkuat ketahanan ekonomi. Koperasi hendaknya dibangun atas syarat terlekat moral, sosial, spasial, nilai gotong royong, dan swadaya (self-help). Jangan sampai koperasi desa yang secara konseptual sangat baik didesain secara serampangan dengan koordinasi yang lemah.
Demikian benang merah hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Ruang Rapat Padjajaran Gedung DPD RI Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (10 September 2025). Pembahasan menghadirkan tiga narasumber, yaitu pakar koperasi dan ekonomi kelembagaan berbasis masyarakat, Rully Indrawan; Guru Besar Sosiologi Organisasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Sudarsono Hardjosoekarto yang juga Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Umum Perusahaan Umum (Perum) BULOG (Badan Urusan Logistik); dan Direktur Bisnis Perum BULOG, Febby Novita.
Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow (senator asal Sulawesi Utara) memimpin rapat bersama dua Wakil Ketua BULD DPD RI, yaitu Agita Nurfianti (senator asal Jawa Barat) dan Abdul Hamid (senator asal Riau). RDPU membahas pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda) pemberdayaan koperasi.
BULD DPD RI berpendapat, dalam pembangunan perdesaan, koperasi diharapkan mampu menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Tanpa regulasi daerah yang mewajibkan pembinaan berkelanjutan, koperasi desa sulit berkembang. Regulasi daerah yang responsif dan progresif mengoptimalkan koperasi desa dalam perannya memberdayakan ekonomi rakyat. Sayangnya, program strategis nasional seperti Koperasi Merah Putih belum memiliki payung hukum di tingkat lokal. “Sehingga pelaksanaannya rawan terhenti,” ucap Senator SBANL Ketua DPD Desa Bersatu Provinsi Sulawesi Utara.
Sudarsono Hardjosoekarto menjelaskan, kelahiran KDMP/KKMP menambah kelembagaan petani di samping BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), koperasi petani seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dan Kelompok Tani (Poktan). Kelembagaan petani tersebut merupakan wadah petani dalam suatu wilayah untuk peningkatan produksi, adopsi teknologi, dan distribusi sarana prasarana produksi dalam rangka penguatan rantai nilai pertanian.
Ia optimis bahwa koperasi di Indonesia masih dapat dikembangkan terutama untuk mengembangkan sektor-sektor produksi pertanian dengan payung hukum Peraturan Presiden 125/2022. Merujuk pada hasil penelitiannya mengenai koperasi pertanian di Jepang sebagai benchmark, Sudarsono menekankan bahwa adalah penting untuk menegaskan unlimited liability (tanggung jawab tak terbatas/tanggung renteng) dalam akte pendirian koperasi ini. Di samping itu koperasi harus didesain terintegrasi secara vertikal dimana koperasi-koperasi primer nantinya bergabung sebagai koperasi sekunder, dan selanjutnya koperasi sekunder bergabung menjadi koperasi tersier.
Sementara itu Rully Indrawan mengapresiasi komitmen membangun ekonomi akar rumput, khususnya di bidang ketahanan pangan. “Patut diapresiasi berdirinya 80 ribuan koperasi berakta,” katanya. Ia memperkirakan, kompleksitas yang dihadapi KDMP lebih berat dibanding lembaga serupa di masa lalu. Masalah yang mendesak ialah tata kelola yang melibatkan semua pihak, terutama pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah untuk mengembangkan KDMP antara lain melalui dukungan kebijakan, pendanaan (APBD dan APBDes), sosialisasi, pelatihan, dan pengawasan dari tingkat provinsi ke desa.
Rully menyayangkan bahwa KDMP/KKMP dibebani usaha yang komplek. Khusus KDMP, ia menganjurkan untuk lebih difokuskan pada penguatan usaha tani dan tata niaganya. Sedang usaha lain, KDMP dapat berkolaborasi dengan koperasi dan unit usaha sesama program pemerintah. Misalnya, untuk mendukung produksi dan pemasaran hasil pertanian, penyelenggaran sektor jasa keuangan, baik dalam bentuk koperasi simpan pinjam (KSP) maupun usaha simpan pinjam (USP), KDMP berkolaborasi dengan program Mekaar PNM atau Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) PT Permodalan Nasional Madani (PNM) atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BRI.
Febby Novita lebih menjelaskan peran BULOG dalam pengembangan KDMP, dimana KDMP adalah mitra off-taker BULOG dalam penyelenggaraan pangan (pengadaan komoditi, pengolahan, pergudangan) dan KDMP sebagai Rumah Pangan Kita (RPK) dalam jaringan distribusi Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) – Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras, jagung, kedelai, bantuan pangan, dan produk komersial BULOG.
Winsy.W