Depok, Liputan Warta Jatim, Islam, sejak awal dihadirkan bukan sebagai proyek eksklusif buat segelintir orang, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Dalam sejarahnya, Islam tidak pernah berdiri di atas keterpisahan, melainkan justru menjadi energi perekat peradaban. Kota Madinah pada abad ke-7 adalah bukti. Di sana, Nabi Muhammad S.A.W membangun Piagam Madinah, sebuah konstitusi pertama yang mengikat muslim, Yahudi, Kristen dan kelompok keyakinan lainnya dalam sebuah solidaritas politik dan sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak awal, Islam sudah menolak eksklusivisme sempit dan menegaskan inklusivitas sebagai napas utama.

Kini, di Indonesia—rumah bagi 231 juta muslim atau sekitar 87% dari total penduduk (BPS 2024)—nilai Islam yang rahmatan lil-‘ālamīn itu menemukan ruang yang tepat. Keberadaan Islam mayoritas tidak menjadikannya hegemonik, tetapi justru menjadi penguat bagi pluralitas. Indonesia diakui dunia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di bumi, dan uniknya, mayoritas muslim Indonesia berkomitmen pada Pancasila dan NKRI. Inilah yang membedakan kita dengan banyak negara lain di Timur Tengah, di mana agama sering dipertentangkan dengan negara.

Baca Juga :  Inagurasi PC GP Ansor Sidoarjo Masa Khidmah 2024-2028 Menuju Organisasi Modern yang Adaptif

Solidaritas Islam Indonesia telah terbukti nyata sepanjang sejarah. Pada 22 Oktober 1945, resolusi jihad yang digelorakan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menjadi bensin spiritual perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Pada 1945 pula, tokoh-tokoh Islam duduk bersama dengan nasionalis berbagai agama merumuskan Pancasila, bahkan rela menghapus “tujuh kata Piagam Jakarta” demi persatuan bangsa. Fakta sejarah ini menegaskan bahwa Islam di Indonesia bukan hadir untuk memisahkan, melainkan merangkul.

Di era modern, tantangan kita bukan lagi kolonialisme bersenjata, melainkan kolonialisme gaya baru: radikalisme yang memecah belah, korupsi yang menggerogoti, dan ketidakadilan sosial yang menganga. Di sinilah wajah Islam yang sesungguhnya harus tampil. Islam harus berdiri sebagai kekuatan moral, memperjuangkan solidaritas sosial, membela kaum miskin, melindungi minoritas, dan menghapus diskriminasi. Seperti firman Allah: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan” (QS. An-Nahl: 90).

NKRI adalah bingkai besar tempat semua itu diwujudkan. Tanpa NKRI, solidaritas akan tercerai-berai. Tanpa Islam yang inklusif, NKRI kehilangan ruh moralnya. Keduanya harus berjalan seiring: Islam memberi jiwa, NKRI memberi tubuh. Persatuan keduanya adalah fondasi peradaban bangsa.

Baca Juga :  *Kapolres Probolinggo Dikukuhkan Sebagai Warga Kehormatan Suku Tengger*

Maka, siapa yang hari ini berteriak memisahkan Islam dari NKRI, sejatinya sedang mengkhianati sejarah. Dan siapa yang menjadikan Islam sebagai alat untuk menyingkirkan yang berbeda, ia sedang merusak ruh Islam itu sendiri.

Islam yang sesungguhnya adalah rahmat bagi semesta. Ia hadir bukan untuk memisahkan, melainkan untuk merajut solidaritas. Bukan eksklusif pada golongan tertentu, melainkan inklusif yang merangkul semua. Dan semuanya tegak indah dalam bingkai kebangsaan—NKRI yang mempersatukan.

Salam Solidaritas!

Depok, 17 Agustus 2025.

Hendra Gunawan, Wakil Ketua DPD PSI Kota Depok

Ariesto Pramitho Ajie

Kaperwil Jabodetabek

By Cahyo