Denpasar – Liputan Warta Jatim, Forum Komunikasi Taksu Bali (Forkom Taksu Bali) tampaknya sudah gerah dengan sikap PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang dinilai semena-mena dalam mengeksploitasi alam, manusia, adat, dan agama di Pulau Serangan.
Sejumlah perjanjian yang telah disepakati antara PT BTID dan masyarakat Kelurahan Serangan sejak tahun 1998 hingga kini masih belum sepenuhnya direalisasikan.
Salah satu poin krusial dalam perjanjian yang belum ditepati adalah penyediaan lahan parkir seluas 4 hektar untuk Pura Sakenan, sebagaimana tertuang dalam perjanjian nomor 046 antara PT BTID dan masyarakat Serangan.
Meski sebagian perjanjian sudah direalisasikan, pembangunan terus berjalan tanpa memberikan kejelasan terhadap hak-hak masyarakat setempat.
“Sebagian besar perjanjian itu memang sudah dilaksanakan, tapi pembangunan di sana terus jalan. Masyarakat Serangan dibuat gigit jari,” ujar Jro Komang Sutrisna, Tim Hukum Forum Komunikasi Taksu (FKT) Bali, Jumat (21/2/2025).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FKT Bali, Khismayana Wijanegara alias Gung Kis menegaskan, bahwa pihaknya akan memperjuangkan hak-hak masyarakat Kelurahan Serangan secara puputan.
Mereka siap menempuh jalur hukum dan agama untuk memastikan perjanjian tersebut ditepati. Jika upaya hukum dan pendekatan berbasis adat tidak membuahkan hasil, maka aksi unjuk rasa menjadi langkah berikutnya yang akan ditempuh.
“Ketika jalur agama dan hukum tidak juga membuahkan hasil, maka kami sebagai krama adat, sebagai masyarakat umat akan memperjuangkan ini habis-habisan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gung Kis menyampaikan bahwa seluruh elemen yang tergabung dalam Forum Komunikasi Taksu Bali telah menyatakan kesiapan mereka untuk turun ke lapangan.
“Semua elemen yang tergabung dalam Forum Komunikasi Taksu Bali sudah siap, mereka mengusulkan untuk segera lakukan aksi,” tandasnya.
Untuk diketahui sebelumnya Ketua Forkom Taksu Bali, Jro Mangku Wisna, mengecam PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang hingga kini belum memenuhi kewajibannya terhadap laba pura di Pulau Serangan.
Ia menegaskan, selain janji lahan parkir 4 hektar untuk Pura Sakenan, keberadaan pura-pura lain di Serangan juga harus diperhatikan.
“Pura Sakenan memang paling dikenal, tapi jangan lupakan Pura Dalem Setra, Pura Dalem Dukuh, Pura Susunan Wadon, Pura Prajapati, Pura Segara, Pura Kahyangan, dan Pura Beji. Semua pura ini memiliki fungsi penting dalam sistem keagamaan dan adat masyarakat Serangan. Jangan sampai hanya karena kepentingan bisnis, hak-hak spiritual ini diabaikan,” tegas Jro Mangku Wisna kepada wartawan,
Ia mengingatkan bahwa sebelum BTID masuk ke Serangan, umat Hindu bisa bersembahyang dengan leluasa di pura-pura tersebut tanpa terkendala akses maupun fasilitas. Namun, setelah proyek berjalan, banyak wilayah suci yang semakin sulit dijangkau.
“Sebelum BTID, Serangan adalah pusat spiritual yang terbuka bagi umat. Sekarang? Akses semakin sulit, dan janji laba pura tidak juga direalisasikan. Ini jelas pengabaian terhadap kesepakatan awal yang dibuat sejak 1998,” ujarnya.
Jro Mangku Wisna juga menyoroti langkah BTID yang kini justru meminta tambahan 27 hektar lahan di Taman Hutan Raya (Tahura), termasuk kawasan suci yang seharusnya dilindungi.
“Kami tidak anti investasi, tapi investasi yang sehat harus menghormati adat dan budaya Bali. Kalau laba pura 4 hektar saja tak bisa ditepati, bagaimana kita bisa percaya mereka akan menjaga pura di dalam Tahura?” katanya.
Forkom Taksu Bali mendesak pemerintah daerah segera bertindak untuk memastikan bahwa setiap pura di Serangan mendapatkan haknya, baik dalam bentuk laba pura maupun akses yang layak bagi umat Hindu.
“Kalau dalam waktu dekat tidak ada kejelasan, kami siap bergerak lebih besar. Serangan bukan sekadar bisnis, ini tanah suci yang harus dilindungi!” pungkasnya.